Masjid ini bisa dikatakan merupakan salah satu saksi sejarah perkembangan Kerajaan Sumedanglarang jaman dulu. Ketika pusat pemerintahan kerajaan Sumedanglarang dipindahkan dari Dayeuh Luhur ke Tegalkalong, sebagai kelengkapan kota dibangunlah masjid. Kebetulan pada waktu itu Sumedanglarang sudah berada di bawah kekuasaan Mataram Islam.
R. Suriadiwangsa yang menggantikan Prabu Geusan Ulun membangunan masjid yang berbentuk bangunan permanen segi empat berukuran 22 x 8 m pada tahun 1600-an. Ruang utamanya dilengkapi dengan pintu-pintu dan jendela-jendela. Masjid ini beratap tumpang yang disangga empat tiang utama atau saka guru dengan puncaknya dilengkapi dengan mustaka. Selain ruang utama, masjid dilengkapi juga dengan teras dan tempat wudhu. Pada bagian masjid terdapat halaman yang dilengkapi dengan pagar keliling dengan dua pintu. Semula masjid merupakan bangunan rumah panggung, dinding dari anyaman bambu atau bilik. Setidaknya masjid telah mengalami 5 kali pemugaran.
Ada satu peristiwa sejarah yang cukup penting di masjid ini yaitu ketika pada tahun 1786 terjadi serangan tentara Kesultanan Banten yang dipimpin oleh Cilik Widara. Serangan dilakukan ketika Bupati, Pangeran Panembahan dan para pejabat serta masyarakat sedang menjalankan shalat Hari Raya Idul Fitri yang mengakibatkan banyak jatuh korban di pihak Sumedang. Untuk Pangeran Panembahan berhasil melarikan diri ke Indramayu. Setelah peristiwa tersebut pusat pemerintahan dipindahkan ke Regol, pusat kota yang sekarang.
Berdasarkan tragedi tersebut, sampai sekarang Bupati Sumedang tidak diperkenankan untuk melakukan Sholat Ied di Sumedang ketika Idul Fitri jatuh pada hari Jumat. Bupati Sumedang harus Sholat Ied di luar Sumedang.
Ahad | |
Senin | |
Selasa | |
Rabu | |
Kamis | |
Jumat | |
Sabtu |