Seni tradisional di Desa Cipelang yang perangkat atau alat musiknya sudah berusia ratusan tahun. Menurut cerita, seni musik ini berkaitan dengan sejarah penyebaran agama Islam. Alat musik ini diberi nama Jangkar Alam. Alasannya karena ditemukan dari dalam tanah yang penuh oleh jangkar saat penggalian. Sebuah nama yang memiliki sejarah panjang jika dilihat dari penemuannya.
Alat musik seni tradisional ini merupakan hasil penemuan anak sultan Jaya Ningrat yaitu Jaga Kerti dalam melaksanakan perintah ayahnya. Jaga Kerti melaksanakan perintah sang ayah untuk membuat saluran air di Gunung Garunggang di daerah Ranji Majalengka. Dalam usahanya menembus tanah tegal Garunggang ia menemukan seperangkat keromong dari dalam tanah galian. Perangkat keromong yang berjumlah 28 buah ini kemudian dieksplorasi menjadi alat musik.
Jaga Kerti kemudian pindah ke daerah Belendung (sekarang Desa Cipelang) didampingi oleh Embah Kadar. Mereka kemudian memperkenalkan Jangkar Alam kepada masyarakat sekitar dan kerap memainkannya bersama-sama, hingga alat musik ini diwariskan turun-temurun sampai sekarang.
Seiring berjalannya waktu, pada pertengahan abad, nama Jangkar Alam berubah menjadi 'Ajeng' dari kata 'pangajeng-ajeng' atau pengiring bagi pengantin, karena saat itu alat musik ini kerap ditampilkan di acara-acara pernikahan. Kini, karena kesenian Ajeng dianggap sebagai pusaka leluhur, maka Ajeng dimainkan di tempat-tempat 'keramat' dalam acara ritual budaya seperti guar bumi, ampih pare, sebagai salah satu penghargaan kepada para pewaris sebelumnya (karuhun) dan juga sebagai bukti pelestarian seni tradisional. Upacara-upacara tersebut rutin digelar satu tahun sekali antara bulan Agustus-Spetember di tiga lokasi, yakni Sumur Jaha Kahuripan (Ujungjaya), makam Mbah Buyut Jagakerti (Cipelang), dan Makam Mbah Kenjar (di Taman Babakan Asem).
(Sumber: KKNM Unpad 2014 Cipelang)
Ahad | |
Senin | |
Selasa | |
Rabu | |
Kamis | |
Jumat | |
Sabtu |