Akses Lokasi

  • Akses Jalan Kaki
    Akses Sepeda
    Akses Sepeda Motor
    Akses Mobil Pribadi
    Akses Angkutan Umum
    Akses Mobil Bus

Share & Like

Peta Lokasi

Foto Utama

Walaupun kerajaan Sumedang Larang sudah tiada, beberapa jenis peninggalannya tidak punah termakan masa. Ada berbagai jenis peninggalan yang masih ada sampai saat ini. Salah satu peninggalan kerajaan Sumedang Larang bisa dijumpai di Kampung Cimanglid, Desa Pasir Biru, Kecamatan Rancakalong. Peninggalan itu berupa seni olah raga tradisional panahan Kasumedangan. Awalnya, panah ini digunakan untuk berburu, dan berkembang menjadi senjata untuk berperang, hingga akhirnya kini dikembangkan sebagai olah raga tradisional. Rimbunnya pepohonan bambu yang ada di desa ini pun dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuat panah, oleh warga setempat yang sering disebut pula sebagai masyarakat Sumedang Larang.

Namun tidak sembarang bambu bisa dijadikan panah bermutu tinggi. Dari 13 jenis bambu yang tumbuh di wilayah Rancakalong, bambu bitung merupakan yang terbaik, tapi juga paling sulit dicari. Bambu jenis ini tebal, kuat dan keras. Bambu yang diambil pun, dipilih yang tumbuhnya menghadap ke timur. Alasannya, bagian ini mendapat sinar matahari yang lebih banyak, yaitu dari terbit hingga tengah hari, daripada yang menghadap ke barat, sehingga kualitasnya pun lebih baik.

Masyarakat Sumedang Larang menganggap tanggal 1 Muharram, adalah saat yang paling tepat untuk mulai menanam maupun menebang bambu. Hal ini selaras dengan sikap hidup mereka yang sangat religius dan menghormati leluhur. Bahkan sebelum menebang bambu, mereka menyalakan rokok terlebih dahulu, lalu meletakkannya di bawah pohon sebagai persembahan bagi para leluhur.

Untuk membuat anak panah, bambu yang telah ditebang, dipotong sesuai kebutuhan. Panjang anak panah harus disesuaikan dengan panjang tangan pemain, sebab jika anak panah terlalu panjang, akan sulit bagi pemain untuk menarik dan memainkannya. Setelah itu bambu dibakar agar kering. Selesai dikeringkan, bambu dipotong-potong kembali menjadi tipis sebesar anak panah.

Agar tampak indah, potongan bambu yang telah menjadi anak panah ini diserut, dan dicat dengan warna sesuai selera pemilik. Untuk membuat bagian runcing anak panah, diambillah lempengan besi. Lempengan besi ini ditempa hingga pipih, dan dibengkokkan hinga membentuk ujung yang tajam.

Bagian paling penting pada sebuah anak panah, adalah bulu. Bagian inilah yang akan menentukan jalannya anak panah. Bulu yang paling baik digunakan, adalah bulu elang. Namun karena sulitnya memperoleh bulu elang, kebanyakan pemain menggunakan bulu ayam atau bulu angsa. Cukup 3 helai bulu yang ditempelkan di anak panah. Satu helai harus menghadap ke atas, sedangkan dua helai lainnya menghadap ke samping, agar anak panah dapat melesat dengan lurus, dan tidak berbelok-belok.

Sementara itu, untuk membuat busur, juga dibutuhkan dua bilah bambu. Dua potong bambu tersebut, tidak disambung pada bagian ruasnya. Ruas bambu justru terletak pada bagian tengah bambu. Dengan cara seperti ini, busur akan lebih kuat.

Bagian pengerjaan terakhir, adalah memasang tali pada busur. Sekalipun panah ini dimainkan secara tradisional, tali yang digunakan merupakan benang sutra impor dari Korea. Alasannya, tali tersebut sangat kuat, tidak mudah putus.

Saat pertandingan panahan Kasumedangan, merupakan saat yang dinanti-nanti warga Sumedang Larang. Seluruh warga, tanpa terkecuali, berbondong-bondong mendatangi lapangan tempat dilangsungkannya pertandingan. Para peserta mengenakan pakaian serba hitam, lengkap dengan ikat kepala berbagai bentuk. Masing-masing membawa anak panah dan busur andalan mereka, sambil berharap hari itu menjadi hari keberuntungan mereka.

Sebagai langkah persiapan menjelang pertandingan dimulai, masing-masing peserta mengambil nomor urut undian. Nomor tersebut ditempelkan ke satu anak panah, yang kemudian ditancapkan pada sebuah gedebok pisang. Cara ini memudahkan juri untuk melihat anak panah siapa yang mengenai sasaran, sebab satu target akan diincar oleh 50-an pemanah.

Seperti sudah mendarah daging pada masyarakat Sumedang Larang, kegiatan ini diawali dengan musik dan tari. Seluruh peserta ikut ngibing atau menari, diiringi alunan angklung jengklung. Dan seperti telah menjadi sifat keseharian mereka, yang tampak hanyalah kegembiraan yang diwarnai canda dan tawa. Tidak tampak wajah yang tegang, atau aroma persaingan di antara mereka.

Menyusul musik dan tari, adalah acara seremonial, dimana dua pembina Sumedang Larang menyerahkan panah pusaka peninggalan kerajaan Sumedang Larang kepada sesepuh Sumedang Larang, yang biasa disapa Pupuhu. Panah ini disebut panah Kabuyutan, dan menjadi simbol kehadiran leluhur pada pertandingan tersebut. Kedua panah pusaka ditancapkan di atas hiasan dari janur. Dilanjutkan dengan sambutan oleh Pupuhu, yang mengemukakan bahwa inti panahan adalah manah, dalam bahasa Sunda berarti hati. Ini dapat diartikan, bahwa memanah harus dilakukan dengan hati bersih.

Setelah itu, barulah selubung yang menutupi target atau sasaran dibuka. Sasaran tersebut berupa patung Dasamuka, dan berjarak 50 meter dari tempat para pemanah duduk. Makna di balik dasamuka ini, adalah anggapan bahwa pada zaman sekarang, banyak orang yang berwajah dan berkepribadian banyak. Hal ini harus ditumpas, yang diasosiasikan dengan anak panah yang menancap di sasaran tersebut. Seperti dalam kegiatan panahan sebagai olah raga, sasaran tersebut juga memiliki nilai-nilai, tergantung dari tingkat kesulitan untuk membidiknya. Kepala memiliki nilai tertinggi, yaitu sembilan, diikuti berturut-turut oleh dada dengan nilai tujuh, perut dengan nilai lima, dan bagian tubuh lainnya dinilai satu. Pemanah yang mengumpulkan nilai terbanyak, dialah yang muncul sebagai juara.

(Sumber: Indosiar)

/
Kampung Cimanglid Desa Pasir Biru Kecamatan Rancakalong
pertandingan panahan Kasumedangan